AMERIKA – PERANCIS – ARAB SAUDI

Presiden RI Joko WIdodo bersama Presiden AS Joe Biden
Banner

JAKARTA, detikkota.com – Sejak beberapa hari ke belakang hingga pagi ini masih saja ada yang bertanya, mengapa penulis tidak mengulas tentang ketiga negara yang menjadi judul tulisan, terkait dengan Pilpres 2020 Amerika Serikat (AS), lalu pernyataan Presiden Prancis Emmanuel Macron (EM) soal polemik pernyataan hina Islam, dan rencana kepulangan Habib Rizieq Shihab (HRS) yang dideportasi Arab Saudi.

Pertama. Sejatinya penulis mengikuti Pilpres 2020 AS sejak awal, hanya saja untuk sekedar menambah wawasan tentang politik luar negeri, tapi kurang tertarik untuk mengulasnya karena, pertama selain masih banyak isu dalam negeri yang menarik dan beragam, juga dari sudut pandang penulis, siapa pun yang menang akan sama saja untuk posisi Indonesia. Karena kebijakan politik luar negeri AS dari waktu ke waktu nyaris sama.

Banner

Mungkin yang sedikit membedakan adalah, bila Donald Trump (DT) yang menang, isu SARA akan tetap kuat, perang dagang dengan China masih tidak mereda, dan itu tentu tidak baik untuk pertumbuhan ekonomi dunia. Sedangkan bila Joe Biden (JB) yang menang, perang dagang dengan China akan mereda, tapi isu HAM atau Hak Asasi Manusia akan kental dan berpengaruh untuk Indonesia, karena Papua akan menjadi senjatanya.

Hal positif lainnya yang bisa ditiru oleh Indonesia, Biden justru merangkul kalangan minoritas umat Islam. Saat pidato menyampaikan Hadist Nabi Muhammad SAW yang memerintahkan siapa pun di antara kamu melihat kesalahan biarkan dia mengubahnya dengan tangannya. Jika dia tidak mampu, maka dengan lidahnya jika dia tidak mampu, maka dengan hatinya.

Biden juga menyatakan bahwa ia akan mengakhiri kebijakan larangan perjalanan (travel ban) bagi umat Muslim yang dibuat pada masa pemerintahan Donald Trump.

Kemudian yang mungkin akan menguntungkan bagi Indonesia adalah ekspor non migas ke AS maupun sebagai pemasok bahan baku ke China. Lima produk ekspor andalan Indonesia ke Amerika Serikat adalah produk pakaian, hasil karet, alas kaki, produk elektronik, dan furnitur.

Sedangkan masalah pilpresnya sendiri, jauh hari sudah bisa ditebak tidak akan jauh berbeda dengan Pilpres Indonesia 2014 dan 2019. Hanya saja yang tidak penulis duga adalah pola dan keadaannya yang benar-benar mirip sekali, hingga jadi anekdot di AS dan para netizen Indonesia, yang dikatakannya sebagai Pilpres Amerika rasa Indonesia. Selain itu penulis salah prediksi, karena semula mengira yang akan menang adalah DT, karena selain petahana, juga politik identitas yang diterapkan sebelumnya cukup efektif.

“Selamat kepada Joe Biden, dan harapannya bahwa hubungan bilateral Indonesia bisa semakin maju dan saling menguntungkan, serta tidak ada yang ikut campur urusan dalam negeri masing-masing. Lalu AS pun tidak sesekali menggunakan lembaga tertentu semisal IMF dan Bank Dunia untuk menekan kebijakan dalam negeri Indonesia.”

Kedua. Polemik pernyataan EM yang menghina agama Islam dan Nabi Muhammad SAW, hingga sejumlah tokoh dunia termasuk Indonesia mengecam pernyataan EM yang menuding Islam di balik aksi teror yang terjadi di negaranya, penulis menilainya ada kesalahpahaman dalam mengartikan pernyataan EM. Karena intinya bahwa EM lebih kepada sikap dimana: “Prancis berperang melawan ‘Separatisme Islam,’ dan tidak pernah melawan apalagi memusuhi Islam”.

Apakah penulis membela EM? Tentu saja tidak sama sekali. Penulis tidak punya kepentingan apapun, karena kenal pun tidak, bahkan sampai detik ini belum pernah menginjakan kaki ke negeri yang terkenal dengan dunia fashionnya. Penulis hanya menginginkan kedamaian dan tidak ada permusuhan antar umat manusia.

Lalu bagaimana dengan karikatur Nabi Muhammad? Pertama, tidak ada satu orang pun yang tahu wajah beliau, jadi penulis anggap itu bukan Nabi. Kecuali bila disertai perkataan yang berisi penghinaan terhadap nabi Muhammad, tentu saja sebagai seorang Muslim, penulis pun mengecam. Karena bagi penulis, agama dan Nabi itu bukan untuk main-main atau bukan untuk dijadikan meme, satire, dan sarkasme apapun alasannya.

“Penulis pun mengecam keras tindak terorisme, radikalisme, dan anarkisme di seluruh dunia, karena itu tidak pernah diajarkan dan tidak pernah dibenarkan oleh Islam maupun agama lainnya.”

Agama itu agung. Jadi selayaknya tidak untuk jadi bahan candaan, apalagi untuk kekerasan, termasuk untuk tujuan politik. Yang benar itu untuk ditegakkan. Lalu bagaimana dengan agama lain yang dijadikan meme atau satire? Penulis pun tidak setuju, walau para pengikutnya tidak mempermasalahkannya, karena sudut pandang setiap orang pasti berbeda. Yang pasti bahwa penulis sangat menghormati kebhinekaan yang diperjuangkan para pendahulu dan para pendiri bangsa.

“Lalu bagaimana dengan masalah boycott? Penulis sudah mengulasnya 2 hari lalu, yang intinya tidak mendukung aksi boycott, dengan pertimbangan bahwa pernyataan seseorang tidak ada kaitannya dengan sebuah produk barang yang pemilik dan karyawannya tidak ada hubungannya sama sekali dengan pernyataan EM. Terlebih bila produk itu berada di Indonesia. Semisal produk air mineral Aqua yang airnya halal dan diambil dari bumi pertiwi, lalu karyawan dan jajaran manajemennya orang Indonesia, bahkan sebagian sahamnya masih milik Tirto Utomo yang orang Indonesia. Jadi yang Prancis adalah pucuk pimpinan dan sebagian sahamnya saja.”

Ketiga. Masalah HRS yang dideportasi dari Arab Saudi, penulis tidak membahas karena tanggal 10 Novembernya belum tiba. Benar atau tidaknya belum ada kepastian, terlebih ada isu dibatalkan. Bila benar batal, berarti ini untuk yang kesekian kalinya batal atau mungkin ditunda kepulangannya. Itu sebabnya penulis tak lantas membahasnya. Terlebih penulis bukan pengikutnya, karena penulis lebih cenderung belajar kepada para ulama dari Nahdlatul Ulama (NU) dan beberapa ulama non partisan, artinya ulama yang tak berafiliasi dengan ormas apalagi dengan partai politik.

Penulis tidak mengulas atau menjabarkan sosok HRS, karena masyarakat Indonesia umumnya sudah tahu. Satu hal yang paling penulis kecewakan adalah sebagai warga negara Indonesia HRS kerap menyebut kepala negaranya sendiri dengan istilah ‘rais ghair syar’iyyin’ presiden ilegal. Padahal secara konstitusi dunia pun mengakui bila Presiden Jokowi terpilih secara konstitusional, bahkan Prabowo Subianto yang menjadi lawan politiknya justru bergabung dalam kabinetnya.

Lalu sekarang bagaimana sikap penulis? Penulis tetap lebih memandang bahwa merajut keutuhan NKRI juah lebih penting, dan pembangunan menuju Indonesia gemilang menjadi prioritas untuk didukung penuh yang sejatinya sebagai tanggung jawab semua pihak, dus bukan hanya pemerintah saja. Karenanya bagi penulis saat ini akan jauh lebih nikmat mengulas hal-hal yang positif di tanah air, ketimbang membahas sesuatu yang justru akan membawa keadaan kurang nyaman. (Dw.A/Red)

title="banner"