Optimalkan Bimbingan Pengawasan Klien Pemasyarakatan Dalam Masa Pandemi Covid-19

Erlyn Widhiana Hartono, ST Pembimbing Kemasyarakatan Muda pada Balai Pemasyarakatan Kelas II Madiun

MADIUN, detikkota.com – Saat ini dunia sedang dalam kondisi yang mengkhawatirkan akibat adanya corona virus-19 (COVID-19) yang telah menjadi pandemi.

Virus tersebut telah melanda 216 negara di dunia. Melansir Worldometers, Kamis (10/6/2021) pukul 06.00 WIB, virus corona penyebab Covid-19 telah menginfeksi 175.142.833 orang di seluruh dunia. Dari jumlah tersebut, 158.645.492 orang telah dinyatakan sembuh dan 3.775.671 orang meninggal akibat Covid-19 (sumber www.kompas.com)Begitupula negara Indonesia juga sedang dalam kondisi darurat pandemi COVID-19.

Banner

Pembaharuan data terakhir pada tanggal 12 Juni 2021 sebanyak 1.911.358 orang positif terjangkit COVID-19 dengan jumlah pasien sembuh sebanyak 1.745.091 orang dan pasien yang meninggal dunia sebanyak 52.879 orang. (sumber : https://covid19.go.id/). Adanya pandemi COVID-19 tentunya berdampak pada stabilitas ekonomi, sosial termasuk pada tatanan sistem peradilan pidana di Indonesia.

Kementerian Hukum dan HAM mengeluarkan kebijakan berupa Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No.M.HH-19 PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak melalui Asimilasi Serta Integrasi dalam rangka Pencegahan dan Penaggulangan Penyebaran Covid-19.

Kebijakan ini diambil berdasarkan pertimbangan untuk menjamin hak hidup Warga Binaan Pemasyarakatan selama pandemi Covid-19. Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara di Indonesia mengalami overcrowded.

Kondisi yang sempit sehingga warga binaan hidup berdesakan di dalam sel menjadikan peluang penularan virus antar sesama warga binaan pemasyarakatan menjadi sangat rentan. Bisa dibayangkan apabila ada 1 orang yang terinfeksi virus tersebut, maka penularannya akan sangat mudah dan cepat karena kondisi tersebut, apalagi sebagian diantara narapidana tersebut termasuk kelompok rentan dimana telah berusia lebih dari 60 tahun dan telah menjalani lebih dari 2/3 masa pidana.

Melalui kebijakan ini, pemerintah memberikan asimilasi dan hak integrasi berupa pembebasan bersyarat kepada 38.822 narapidana, dengan rincian sebanyak 36.641 bebas melalui program asimilasi yang terdiri dari 35.378 narapidana dewasa dan 903 anak. Sebanyak 2.181 narapidana bebas melalui program reintegrasi dengan rincian 2.145 narapidana dewasa dan 36 anak (Indradi et al., 2020).

Narapidana yang mendapatkan hak asimilasi maupun integrasi kemudian berubah statusnya menjadi klien pemasyarakatan dan berada dalam pembimbingan serta pengawasan Balai Pemasyarakatan.

Perlu diketahui bersama bahwa klien asimilasi dan integrasi tidak semata-mata bebas dari Lembaga Pemasyarakatan. Ketika klien diberikan hak bebas tersebut, ditentukan pula jangka waktunya (masa percobaan) serta ditetapkan ketentuan-ketentuan yang harus dijalankan selama masa percobaan tersebut. Asimilasi diberikan dengan ketentuan klien tersebut tidak melakukan pelanggaran hukum dan perbuatan lain yang tidak sesuai dengan norma-norma dalam masyarakat. Selain itu diperkenankan pula pemberian syarat khusus terkait dengan perilaku narapidana tanpa mengurangi hak beragama dan berpolitik. (Hamzah, 2016).

Salah satu kewajiban klien pemasyarakatan adalah mengikuti pembimbingan yang telah diprogramkan oleh Pembimbing Kemasyarakatan melalui proses asesmen. Program pembimbingan merupakan hal yang penting untuk diberikan kepada klien pemasyarakatan karena tidak dapat kita pungkiri bahwa klien pemasyarakatan adalah orang yang bermasalah. Klien sebagai makhluk individu dan sosial juga hidup bermasyarakat juga memerlukan bimbingan dengan tujuan untuk meningkatkan kondisi fisik, memantapkan mental, memantapkan hasrat untuk sembuh, serta meningkatkan peran sosialnya menjadi masyarakat yang sadar hukum sehingga dapat hidup mandiri dan tidak melakukan pelanggaran hukum lagi.

Selama pandemi Covid-19 proses pembimbingan dilaksanakan melalui daring (online). Hal ini dilakukan dalam rangka mematuhi himbauan pemerintah untuk menjalankan pembatasan fisik (physical distancing) yaitu menjaga jarak fisik antar manusia. Tujuan dilakukannya pembimbingan secara daring yaitu untuk meminimalisir resiko penularan Covid-19.

Tindakan ini dirasa cukup efektif untuk untuk mengurangi kerumunan dalam satu tempat termasuk dalam hal pelaksanaan pembimbingan. Klien asimilasi dan integrasi diwajibkan menghubungi pembimbing kemasyarakatan yang menanganinya satu minggu sekali melalui video call untuk melakukan bimbingan.

Untuk memastikan bahwa klien pemasyarakatan mematuhi syarat-syarat yang ditentukan, Balai Pemasyarakatan bertugas untuk memberikan supervisi atau pengawasan terhadap klien tersebut. Pengawasan merupakan salah satu fungsi Balai Pemasyarakatan yang pokok dalam proses penegakan hukum. Pengawasan adalah langkah atau kegiatan yang berfungsi untuk memantau keterlaksanaan program pembimbingan oleh Bapas serta mencegah penyimpangan pelaksanaan reintegrasi sosial. Pengawasan menjadi hal yang krusial karena apabila klien melakukan penyimpangan atau tidak menjalankan syarat-syarat yang telah ditetapkan, maka narapidana yang mendapatkan asimilasi akan berpotensi melakukan tindak kejahatan kembali (residivis).

Pada kenyataannya, masih banyak terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh klien antara lain tidak menjalankan pembimbingan online secara disiplin. Sering ditemukan klien yang tidak melakukan konsultasi bimbingan melalui video-call selama lebih dari 3 kali berturut-turut, sedangkan berdasarkan syarat umum yang diberikan, apabila klien tidak melakukan konsultasi sebanyak tiga kali berturut-turut dianggap sebgai sebuah pelanggaran. Rendahnya kedisiplinan klien tentu mempengaruhi intervensi perubahan perilaku klien yang berkaitan dengan potensi klien kembali melakukan tindak pidana selama ia menjalani asimilasi atau integrasi. Kondisi ini diperburuk dengan data informasi klien yang diperoleh dari Lembaga Pemasyarakatan tempat klien sebelumnya menjalani pidana tidak valid. Terdapat nomor telepon yang ternyata tidak dapat dihubungi sehingga menyulitkan untuk melakukan pembimbingan dan pengawasan terhadap klien tersebut.

Di Indonesia angka pengulangan tindak pidana masih sangat fluktuatif. Menurut (Sari, 2013) dalam Priyatno, pada kurun waktu tahun 1994 – 1996 angka residivis mencapai 5,61%, dan mengalami kenaikan menjadi 6,63% pada tahun 1997-1999. Pada tahun 2000 angka residivisme mengalami penurunan sebesar 5,27% kemudian tahun 2001 penurunan mencapai 2,84%. Pada tahun 2018 mengalami kenaikan mencapai 14%. Data statistik Pemasyarakatan yang bersumber dari Sistem Database Pemasyarakatan 2020 menyatakan bahwa sebanyak 35.044 narapidana adalah residivis atau 12,96% dari jumlah keseluruhan narapidana di Indonesia. Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Reynhard Silitonga menyatakan bahwa selama pandemi Covid-19 ini, dari puluhan ribu narapidana yang mendapatkan asimilasi dan integrasi, sebanyak 95 narapidana melakukan pelanggaran, dimana sebagian besar adalah pelanggaran persyaratan umum

Data tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya masih banyak mantan narapidana yang kembali melakukan tindak kejahatan, atau dengan kata lain selama menjadi klien dan berada di tengah-tengah masyarakat, klien tersebut luput dari pengamatan Balai Pemasyarakatan. Hal ini memunculkan pertanyaan mengenai bagaimana pelaksanaan pembimbingan terhadap klien asimilasi selama pandemic Covid-19.

Adapun hal-hal yang harus diperhatikan dan dilaksanakan oleh Pembimbing Kemasyarakatan dalam mengoptimalkan pembimbingan terhadap kliennya adalah sebagai berikut :
Perlu adanya peningkatan koordinasi dengan Aparat Penegak Hukum sehingga kegiatan pembimbingan serta pengawasan yang dilakukan secara daring terhadap klien dapat berjalan dengan baik sehingga klien pemasyarakatan dapat kembali ke masyarakat dan hidup secara normal.

Pembimbing Kemasyarakatan harus memastikan validitas nomor handphone klien yang tertera Laporan Perkembangan Pembinaan WBP dan benar-benar dapat dihubungi guna kelancaran proses pembimbingan secara online serta meningkatkan koordinasi dengan Aparat Penegak Hukum dan Pemerintah Daerah setempat untuk dapat mendukung program pembimbingan dan ikut serta dalam proses pengawasan klien selama menjalani asimilasi maupun integrasi.

Peningkatan sinergitas antara Rumah Tahanan Negara-Lembaga Pemasyarakatan-Balai Pemayarakatan dengan menempatkan petugas Pembimbing Kemasyarakatan pada setiap Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara perlu dilakukan untuk mewujudkan proses Pemasyarakatan yang efektif dan efisien.

Dalam kondisi pandemi Covid-19 dibutuhkan adanya perhatian khusus dari pemerintah khususnya Direktorat Jenderal Pemasyarakatan untuk memberikan pembekalan berupa e-learning kepada Pembimbing Kemasyarakatan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan pembimbingan online untuk menciptakan Pembimbing Kemasyarakatan yang berkualitas sehingga walaupun proses pembimbingan klien dilakukan secara daring, namun tidak mengurangi kualitas dari pembimbingan tersebut.

Perlu dilakukan penguatan sumber daya manusia Balai Pemasyarakatan dengan menerapkan konsep organisasi belajar. Konsep ini dapat diaktualisasikan oleh Pembimbing Kemasyarakatan dengan cara membentuk kelompok-kelompok belajar sebagai sarana untuk berbagi pengetahuan serta pengalaman pribadi masing-masing.

Penulis : Erlyn Widhiana Hartono, ST
Pembimbing Kemasyarakatan Muda pada Balai Pemasyarakatan Kelas II Madiun

title="banner"
Banner