SUMENEP, detikkota.com – Aktivitas pertambangan dan industri di Pulau Pagerungan Besar, Kabupaten Sumenep, dinilai telah melampaui daya dukung lingkungan. Hal ini menempatkan pulau kecil tersebut dalam kategori zona kritis ekologis.
Direktur Eksekutif Anatomi Pertambangan Indonesia (API), Riyanda Barmawi, mengungkapkan bahwa sejak awal 2000-an, Pulau Pagerungan dibebani oleh dua tekanan besar, yakni kegiatan migas di lepas pantai serta pembangunan infrastruktur industri. Kedua aktivitas tersebut menyebabkan kerusakan ekologis yang semakin meluas.
Mengutip hasil riset Kementerian PPN/Bappenas, Riyanda menyatakan bahwa pulau-pulau kecil seperti Pagerungan sangat rentan terhadap krisis air tanah, abrasi pantai, hingga potensi hilangnya keanekaragaman hayati endemik. Namun, menurutnya, belum ada penyajian data dampak kumulatif ekologis secara transparan kepada publik.
Riyanda juga menyoroti kelemahan dalam regulasi ruang laut dan dokumen kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut (KKPRL), yang menurutnya kerap disesuaikan dengan kepentingan politik tanpa mempertimbangkan aspek lingkungan secara menyeluruh.
Selain kerusakan lingkungan, ia menilai program pemberdayaan masyarakat yang dijanjikan perusahaan belum membuahkan hasil nyata. Warga Pulau Pagerungan, yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan, masih menghadapi keterbatasan akses listrik yang hanya menyala 2 hingga 4 jam per hari secara bergilir. Di sisi lain, aktivitas eksplorasi justru mengurangi hasil tangkapan ikan mereka.
“Pulau Pagerungan adalah wilayah ekologis yang rapuh, namun dijadikan lokasi eksploitasi besar-besaran. Kami mendesak adanya keterbukaan dokumen AMDAL, audit limbah, dan kajian risiko ekosistem secara menyeluruh,” tegas Riyanda.
Ia menambahkan, ketika kerusakan lingkungan diselimuti oleh narasi perizinan dan penghargaan, publik perlu mempertanyakan apakah yang dilindungi benar-benar lingkungan atau hanya kepentingan komersial.