Revisi UU ITE, Untuk Menjamin Hak dan Kebebasan Transaksi Informasi Secara Adil dalam Masyarakat yang Demokratis

JAKARTA, detikkota.com – Polemik hukum adanya kebebasan berpendapat dan belum baiknya literasi digital di masyarakat, telah mengindikasikan munculnya kasus-kasus terkait dengan tafsir hukum karet, penerapan oleh Aparat Penegak Hukum (APH) yang belum tepat di lapangan dan berdampak sosial.

Oleh karenya Pemerintah perlu untuk segera melakukan revisi terhadap UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dan memasukkan revisi UU ITE ke dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2021 (Prolegnas Prioritas 2021).

Banner

Hal demikian yang disampaikan Wakil Ketua DPR RI, Azis Syamsuddin melihat gaduhnya media sosial dikarenakan UU ITE banyak digunakan oleh masyarakat untuk saling lapor ke Kepolisian dan mengakibatkan banyak orang yang sebenarnya merupakan korban dan tidak bersalah justru dilaporkan.

“Polemik terhadap UU No 11/2008 (UU No 19/2016) tentang ITE terlihat di antaranya pada Pasal 27 ayat dan 1 ayat 3, Pasal 28 ayat 2: Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atau suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA),” tutur Azis Syamsuddin, Senin (22/2).

Dia menyebutkan, seperti telah diamanatkan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 F, dan Pasal 28 J.

Pasal 28 F, bahwa, berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Pasal 28 J, (1) Menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

“Menindaklanjuti proses revisi UU ITE, maka perlu dipahami secara yuridis normatif perihal penyebaran informasi selain teori hukum, juga adanya konvergensi dari empat bidang ilmu, yaitu tekonologi, telekomunikasi, informasi dan komunikasi, meliputi UU No.39/1999 Tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 11/2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19/2016 (UU ITE); UU No. 14/2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik; dan UU No. 4/2011 Tentang Informasi Geospasial,” tandas Azis Syamsuddin. (AS/pr)

title="banner"
Banner