Opini  

Satu Kongres, Banyak Ketua—Mana yang Ketua Beneran?

Kata orang, GMNI adalah organisasi ideologis—rumah para pemikir marhaenis, tempat belajar menjadi pejuang rakyat. Tapi sayangnya, rumah itu kini lebih mirip kontrakan: banyak penghuni, tapi saling usir dan rebutan kunci utama.

Kongres XXII di Gedung Merdeka baru saja usai. Tempat sakral dalam sejarah bangsa, tempat Bung Karno dulu berdiri penuh wibawa, kini berubah menjadi panggung drama dengan naskah yang disusun diam-diam.

Ada yang terpilih secara aklamasi, ada yang menang versi panitia, ada pula yang sah versi spanduk.

Semua merasa paling benar, tak satu pun mau mengalah—semua mengaku paling marhaenis.

Aklamasi atau Sekadar “Aklamasi-aklamasian”?

Katanya aklamasi, tapi yang lain tak mengakui.
Katanya sah, tapi ada pula versi sah yang lain.

Rakyat akhirnya bertanya-tanya:

“Ini Kongres GMNI atau Kongres Nasional Gimik-Gimik?”

Kalau Bung Karno masih hidup, mungkin beliau hanya geleng-geleng kepala dan berkata:

“Toh kalian ini bukan marhaenis, tapi marah-heinis!”

Dari Forum Ilmiah ke Forum Ingin Jadi Ketua

Dulu, kader GMNI dikenal karena diskusinya yang tajam.
Sekarang, diskusi hanya jadi alat framing dan manuver.

Dulu forum adalah ruang memperdalam ideologi.
Kini forum jadi tempat memperkuat koalisi kamar hotel.

Bahkan yang baru turun dari kereta pun bisa langsung maju jadi calon ketua.
Asal ada backing, ada paket, dan siap cetak kaos.

Rebutan Kursi, Lupa Kursi Siapa

Yang diperebutkan: kursi Ketua Umum.
Yang dikorbankan: ideologi.
Yang diabaikan: pendidikan kader.
Yang dilupakan: rakyat.

Saking ruwetnya, orang mulai bertanya:

“Apakah ini kongres GMNI, atau gladiator ideologis?”

Politik Tingkat Lanjut: Dari Dualisme Menuju Tigalisme?

Dualisme sudah biasa.
Tigalisme? Tinggal tunggu waktu.

Yang penting:
Cetak baliho
Pasang logo
Bikin grup WhatsApp sendiri

Kini kader GMNI hanya punya tiga pilihan:

Masuk kubu A → dicap pro-petahana

Masuk kubu B → dicap pengacau forum

Tetap belajar ideologi → dicap tidak aktif

Harapan untuk GMNI

Jika GMNI ingin menjadi besar,
jangan hanya besar di spanduk,
besar di ego,
besar dalam konflik.

Tapi besarlah dalam pikiran,
dalam dedikasi,
dan dalam loyalitas kepada rakyat.

Karena sejatinya, kemenangan sejati bukanlah saat terpilih sebagai Ketua Umum,
melainkan saat terpilih menjadi manusia yang berguna bagi sesama—tanpa harus rebutan.