detikkota.com – Menjelang pendaftaran calon bupati dan wakil bupati pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Tahun 2024 mendatang, para kandidat mulai mematangkan langkah menuju tahapan tersebut. Sejumlah calon yang akan bertarung sedang memfinalkan dukungan dari partai politik, juga mulai memfinalkan calon pendamping atau calon wakil masing-masing.
Sejumlah calon terbaca gamang dalam menentukan pilihan calon Wakil, mungkin karena pemahaman atau mispersepsi terhadap peran dan fungsi wakil sehingga takut akan ditelikung oleh wakil nantinya ketika berkuasa. Dalam pasal 45 Undang-undang no 6 Tahun 2011 tentang Undang-Undang Pemerintahan Aceh disebutkan bahwa wakil bupati/ walikota memiliki tugas dan fungsi Membantu Bupati dalam, penyelenggaraan pemerintahan, pengoordinasian kegiatan instansi pemerintah dalam pelaksanaan syari’at Islam, penindaklanjutan laporan dan/atau temuan hasil pengawasan aparatur pengawasan, pemberdayaan perempuan dan pemuda, pemberdayaan adat, pengupayaan pengembangan kebudayaan, pelestarian lingkungan hidup, pemantauan dan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan kecamatan, mukim, dan gampong, pelaksanaan tugas dan wewenang bupati/walikota apabila bupati/walikota berhalangan, pelaksanaan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang diberikan oleh bupati/ walikota.
Maka calon Bupati tidak perlu takut yang berlebihan dengan tugas dan fungsi seorang wakil karena tanggungjawab utama pemerintahan itu berada ditangan seorang Bupati, sementara wakil hanya membantu bupati dan mewakili Bupati kalau bupati sedang berhalangan.
Mengambil calon wakil dari birokrat sah-sah saja namun yang perlu diketahui adalah fungsi birokrasi itu berada ditangan sekretaris daerah (Sekda) dimana sekda berfungi sebagai pembantu bupati/walikota dalam menyusun kebijakan, mengkoordinasikan dinas, lembaga dan badan dan membina pegawai negeri sipil.
Perlu dicurigai seorang calon bupati yang menginginkan tidak “kreuh bhan keu ngon bhan likot” atau tidak ingin wakil menelikung dirinya adalah tidak memiliki pemahaman akan tugas dan fungsi wakil bupati/walikota, atau mungkin saja calon bupati tersebut ingin memerintah sendiri tanpa ingin berbagi kekuasaan sedikitpun dengan wakilnya. Kriteria bupati seperti ini perlu diwaspadai karena sebelum berkuasa saja sudah punya rencana tidak mau berbagi atau Rakus yang ujungnya akan menuju sikap otoriter.
Dalam demokrasi kekinian maka sah-sah saja siapapun yang telah siap dan mampu untuk menclaonkan diri dan memilih partai apapun dan siapapun untuk menjadi wakilnya, namun sikap tersebut tentu akan dibaca dan dipelajri oleh publik yang nantinya akan menjadi pemilih pada pilkada dan akan merasakan dampak dari pilihan-pilihan mereka tersebut. Apakah orang yang mereka percayakan selama 5 tahun kedapan akan mampu meningkatkan kesejateraan masyarakat dengan kebijakan-kebijakannya, akan mempu menuntaskan berbagai persoalan yang ada dan berdampak lansung dengan kehidupan masyarakat Bireuen.
Maka Publik harus peka dan melek terhadap rekam jejak, calon-calon tersebut buka memori kebelakang, pahami sikap, etitute, cara pikir dan bagaimana si calon tersebut dalam menjalankan usahanya. Seorang calon bupati yang dalam menjalankan usahanya bersikap rakus dan tanpa memikirkan bagaimana dampak usahanya terhadap lingkungan dan orang lain, maka dalam berkuasa juga akan cendrung demikian.
Kalau dia seorang kontraktor misalnya, dia mengurangi volume pekerjaan untuk mengeruk keuntungan lebih, tanpa memikirkan mutu bangunan yang akan digunakan oleh masyarakat banyak demi memperkaya diri, maka calon pemimpin seperti ini sangat berbahaya kalau nantinya berkuasa, maka kekuasaannya akan digunakan untuk mengeruk keuntungan pribadi dengan mengolah sumberdaya anggaran pendapatan dan belanja kabupaten (APBK).
Mari kita palajari rekam jejak, sikap, dan karakter calon bupati kita Bireuen tahun 2024 mendatang, mari memilih dengan hati demi terwujudnya bireuen yang lebih baik kedepan.