SUMEMEP, detikkota.com – Kebijakan pengadaan seragam sekolah gratis senilai Rp3 miliar oleh Dinas Pendidikan Sumenep kembali mencuat sebagai bahan kritik publik. Di balik jargon pemerataan dan kepedulian, muncul pertanyaan besar: siapa sebenarnya yang dilindungi dalam program ini—UMKM lokal atau kontraktor besar?
Sejak awal, kebijakan tersebut digadang-gadang mampu membuka peluang bagi para penjahit dan pedagang kain lokal. Ribuan siswa setiap tahun tentu membutuhkan seragam baru, dan itu semestinya menjadi pintu rezeki bagi pelaku usaha kecil. Namun, realitas di lapangan justru menunjukkan arah berbeda. Alih-alih menggandeng UMKM, Dinas Pendidikan memilih menyerahkan pengadaan ke kontraktor dengan sistem fabrikasi massal.
Alasan resmi yang dikemukakan adalah efisiensi dan percepatan distribusi. Namun, alasan itu terdengar rapuh jika melihat kalender akademik. Tahun ajaran baru masih jauh—baru akan dimulai pada Juli—sementara keputusan pengadaan diambil pada September tahun sebelumnya. Artinya, waktu masih cukup untuk memberdayakan UMKM. “Kalau katanya waktu tidak cukup, itu mengada-ada,” ujar seorang penjahit dengan nada kecewa.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Kekecewaan itu tidak berhenti pada soal teknis. Bagi pelaku UMKM, keputusan ini mengandung makna simbolis: pemerintah lebih percaya pada kontraktor besar ketimbang kemampuan lokal. Usulan agar kain dibagikan ke sekolah lalu dijahit secara bebas oleh penjahit lokal diabaikan begitu saja, seolah suara akar rumput tidak relevan.
Ironisnya, Kepala Dinas Pendidikan Agus Dwi Saputra—yang kini disebut-sebut sebagai kandidat kuat Sekda—dinilai gagal menunjukkan keberpihakan pada masyarakat kecil. Program yang sejak 2022 digembar-gemborkan sebagai bentuk kepedulian, justru dianggap mematikan perlahan ekosistem UMKM.
Pemerintah daerah seakan lupa bahwa penjahit lokal tidak sekadar penyedia jasa. Mereka bagian dari denyut sosial ekonomi, menyulam kain bukan hanya menjadi seragam, tetapi juga simbol harapan orang tua agar anaknya tampil rapi di sekolah. Dengan menyingkirkan mereka, pemerintah sesungguhnya menyingkirkan sebagian wajah budaya dan ekonomi rakyat.
Lebih jauh, jika laporan yang diterima Bupati hanya berasal dari satu sisi, maka risiko kehilangan kepercayaan publik akan semakin besar. Rakyat kecil bisa merasa dikhianati oleh jargon pemberdayaan yang ternyata hanya kosmetik birokrasi.
Kritik keras pun bermunculan. Ada yang sinis mengatakan jangan sampai kebijakan yang tidak pro rakyat ini berakhir dengan aksi simbolik, semisal pejabat dilempari telur busuk. Ekspresi marah semacam itu bisa saja lahir jika suara rakyat terus diabaikan.
Padahal, solusi sebenarnya terbuka lebar. Dinas Pendidikan bisa merancang mekanisme pengadaan yang lebih inklusif, melibatkan UMKM secara langsung, bahkan memberikan pelatihan dan akses pasar yang lebih luas. Bukan justru menutup pintu dengan alasan efisiensi yang dipaksakan.
Di sudut-sudut rumah konveksi, mesin jahit kini banyak yang terdiam. Bagi para penjahit, program Rp3 miliar itu lebih mirip badai yang memadamkan nyala usaha daripada cahaya harapan.
“Kami hanya ingin diberi kesempatan. Kalau kain dibagikan saja, kami bisa bekerja. Tidak perlu proyek besar yang ujung-ujungnya menguntungkan segelintir orang,” keluh seorang ibu penjahit.
Lebih dari sekadar angka anggaran, ini adalah soal keberlangsungan hidup ribuan keluarga. Tukang jahit bukan sekadar profesi, tetapi bagian dari tradisi dan kearifan lokal yang menopang ekonomi Sumenep. Meminggirkan mereka berarti mengikis martabat ekonomi rakyat kecil.
Kini, pilihan ada di tangan pemerintah Sumenep. Apakah akan terus berpihak pada kontraktor besar demi efisiensi di atas kertas, atau memberi ruang bernapas bagi para penjahit yang telah lama menjaga denyut jarum dan benang? Pertanyaan ini bukan hanya soal ekonomi, tetapi soal martabat dan arah kebijakan yang sesungguhnya.
Jika pemerintah benar-benar serius dengan slogan pemberdayaan UMKM, maka inilah saatnya membuktikan. Jika tidak, program seragam gratis senilai miliaran hanya akan tercatat sebagai ironi: janji manis yang berubah menjadi luka bagi pelaku usaha kecil.
Penulis : Inyoman Sudirman
Editor : Md