SUMENEP, detikkota.com – Sismiop adalah sistem manajemen informasi objek pajak (PBB) merupakan program pemerintah kabupaten Sumenep bersama pemerintah desa Saur Saebus, program tersebut untuk menciptakan suatu basis data yang akurat dan up-To-date terkait dengan tanah warga.
Kondisi status tanah warga desa Saur Saebus hampir rata-rata tidak memiliki dokumen lengkap kepemilikan tanah, termasuk SPPT dan sertifikat tanah, oleh karena itu pemerintah desa berinisiatif untuk memperjelas status kepemilikan tanah warga.
Pasalnya, kebanyakan warga hanya pegang satu SPPT tanah, dan kadang nama yang tertulis tidak sesuai dengan nama pemilik tanah, baik tanah warisan ataupun tanah yang sudah di jual belikan. Sehingga hal tersebut dipandang pemicu sengketa tanah oleh pemdes desa saur Saebus.
Hal tersebut dibenarkan oleh Moh. Sholeh, bahwa nama dari pemilik tanah di liter c masih tertulis nama pemilik tanah pertama, karena kebanyakan yang jual adalah cucunya.
“Bisa di cek kepada warga memang rata-rata seperti itu kondisi tanah milik warga, antara nama di SPPT dan tanah yang dimiliki tidak sesuai baik warisan maupun tanah yang di beli,” terang Moh. Sholeh mantan kades Saur Saebus kepada media ini, Jumat (20/06/2025).
Sambung Moh. Sholeh mengatakan bahwa nama pemilik tanah di liter c rata-rata orang yang diluar desa saur Saebus,dan kebanyakan masih ada hak warisnya.
“Kalau nanti hak warisnya mengambil tanahnya kita tidak punya dasar,apa lagi sistem jual beli tanah orang dulu tidak prosedural, cukup sepakat kedua belah pihak jadi jual belinya,” terangnya.
Ia mengaku memegang dukumen liter c,jadi ia tau siapa pemilik tanah dan siapa hak waris tanah tersebut, karena, di liter c yang saya pegang jelas tertulis nama pemilik tanah tersebut.
“Sementara warga tidak punya dukumen lengkap kepemilikan tanah, atau bukti jual beli tanah, itupun kalau ada cuma kwitansi atau nota jual beli tanah, maka dari itu saya berinisiatif untuk memperjelas status tanah warga paling tidak tahapan SPPT dulu di selesaikankan sekarang sudah jelas tengah warga sudah sesuai dengan nama yang di SPPT meskipun ada yang nolak tapikan sebagian orang Paleng hanya 5 % dari DPT saur saebus,” tegasnya.
Hal tersebut dibenarkan oleh Herliya, bahwa ia punya warisan tanah sedangkan nama di SPPT tanah tersebut masih nama pemilik yang dulu. “Setelah saya telusuri ternyata yang jual adalah cicitnya, kata orang Sapeken empu tuhut, Alhamdulillah nama di SPPT sekarang sudah nama saya semenjak mengikuti program pengukuran tanah dari pemdes,” terangnya
Moh. Sholeh menambahkan bahwa kadang niat baik itu tidak dinilai baik, dan itu sudah ada dijaman para nabi, menurutnya tidak masalah kalau ada yang menolak program tersebut. “Tidak masalah kalau ada warga yang menolak, itu hal biasa terjadi pada pelayanan masyarakat,” tegasnya.
Ditanya soal tuduhan pungli pada dirinya, ia tidak keberatan, karena masyarakat sudah paham soal nuduh menuduh. “Yang jelas menuduh itu tidak boleh, kalau belum terbukti bersalah dan tidak ada kepastian hukum tetap kepada orang yang dituduhkan, tidak apa-apalah saya dituduh, barangkali mereka tidak paham persoalannya,” ujarnya.
Lebih lanjut Moh. Sholeh mengatakan bahwa awalnya ia menganggap yang disuarakan merupakan hak perwakilan suara dari masyarakat untuk memberikan masukan.
“Tapi sekarang saya liat suara yang disampaikan sudah tidak murni lagi suara masyarakat, saya menduga suara kebencian, contohnya sudah ada hasil berita mediasi tapi masih koar-koar kebarat ketimur, setelah itu menuduh pungli seperti yang disampaikan tadi kan harus ingkrah dulu baru bisa menuduh, ini belum apa-apa dan kita semua fokus pada tiga poin yang dihasilkan di mediasi bersama untuk realisasi tiga mediasi tersebut, tapi sudah di koar-koar lagi kan tidak profesional,” terangnya.
Terakhir, ia menegaskan akan patuh pada tiga poin yang dihasilkan di mediasi bersama pihak kecamatan.