News  

Publik Desak BRIDA Sumenep Lakukan Analisis NTP untuk Ukur Kesejahteraan Petani

SUMENEP, detikkota.com – Desakan publik kembali menguat agar Badan Riset dan Inovasi Daerah (BRIDA) Sumenep segera turun tangan melakukan analisis Nilai Tukar Petani (NTP). Instrumen ini dianggap vital untuk mengukur daya beli petani, sekaligus membaca ketimpangan antara harga jual hasil pertanian dan biaya yang harus mereka keluarkan untuk kebutuhan produksi maupun konsumsi.

Inyoman Sudirman, tokoh yang mendorong kajian tersebut, menegaskan riset NTP tidak boleh lagi ditunda. Ia menyebut, tanpa analisis mendalam, pemerintah akan kesulitan memetakan persoalan mendasar yang menjerat petani di akar rumput.

“Riset NTP itu kunci. Dengan NTP, kita bisa tahu berapa harga yang diterima petani, berapa yang harus mereka bayar, sekaligus memantau fluktuasi harga hasil panen. Itu juga menjadi basis menghitung kontribusi sektor pertanian terhadap pendapatan daerah,” tegas Inyoman.

Lebih jauh, NTP dipandang sebagai instrumen strategis untuk mengukur daya saing produk pertanian. Data tersebut dapat membantu pemerintah menilai mana sektor yang stagnan, mana komoditas yang tertekan, serta apa langkah yang perlu ditempuh agar kualitas produk lokal bisa bersaing di pasar yang lebih luas.

“Tanpa NTP, pemerintah akan berjalan dalam kegelapan. Dengan NTP, arah kebijakan lebih jelas—mana yang harus diperbaiki dan apa yang mesti diintervensi untuk kepentingan petani,” tambahnya.

Ia juga menyinggung fakta getir bahwa petani kerap mengeluhkan biaya produksi yang tinggi. Mulai dari pengolahan lahan hingga panen, modal yang dikeluarkan begitu besar sehingga banyak petani justru kesulitan mengembalikan biaya, apalagi memperoleh keuntungan.

“Petani kita sering hanya bisa balik modal. Padahal, sektor ini merupakan denyut nadi Sumenep yang wilayahnya terbagi daratan dan kepulauan. Pertanian harusnya jadi tulang punggung pembangunan,” ujarnya.

Inyoman mengingatkan, sektor pertanian di Sumenep punya bobot besar terhadap perekonomian daerah. Kontribusinya mencapai 58,23 persen terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Fakta ini, katanya, menjadi alasan mendesak bagi Pemkab Sumenep melalui BRIDA untuk melakukan riset secara reguler agar data kesejahteraan petani selalu mutakhir.

Ia pun menyarankan agar Pemkab tidak hanya bergantung pada data Badan Pusat Statistik (BPS). Menurutnya, BRIDA dengan kapasitas risetnya justru bisa menjadi pelengkap dan pembanding penting bagi data resmi nasional.

“Kalau hanya menunggu BPS, kita jadi pasif. Lebih baik BRIDA juga jalan. Kan hanya malaikat yang tidak pernah salah dalam mencatat data. Pemerintah daerah jangan takut membuat perbandingan, justru itu yang bisa memperkaya kebijakan,” pungkasnya dengan nada tajam.