detikkota.com – Sebagaimana telah ditulis pada artikel sebelumnya bahwasanya pada tiap realitas yang ada-terjadi maka dibelakangnya berdiri prinsip hukum sebab-akibat sebagai rangkaian proses yang melatar belakangi sesuatu sehingga sesuatu itu menjadi ada atau terjadi.
Sehingga eksistensi segala suatu dalam realitas tidaklah terjadi secara kebetulan melainkan mengikuti prinsip hukum sebab akibat. Dalam persfectif hukum sebab akibat, tidak ada atau tidak dikenal prinsip ‘kebetulan’ sehingga siapapun yang bersandar pada prinsip ‘kebetulan’ maka berarti ia telah menafikan prinsip hukum sebab akibat.
Di ambil contoh “Qisas” dalam agama Islam adalah hukum timbal balik.
Stabilizer. Atau boleh disebut hukum sebab – akibat, aksi – reaksi, tebar – tuai, hukum causalitas dan lainnya.
Di agama Hindu namanya “Karma,” pada agama Budha dikenal “Dharma” atau lelaku/perbuatan. Poin inti dari hukum tersebut ialah (titik) keseimbangan.
Nyawa dibalas dengan nyawa, contohnya, kecuali musyawarah.
Kenapa demikian, bahwa alam selalu menuju titik keseimbangan entah fisik ataupun bersifat nonfisik.
Tatkala ia (alam) telah keluar atau berada di luar titik keseimbangan —ini disebut sebab, aksi, lelaku atau perbuatan— niscaya akan timbul reaksi/akibat sebagai upaya kembali kepada titik keseimbangan.
Ya. Aksi – reaksi atau hukum causalitas beroperasi.
Dan reaksi awal atau akibat permulaan, lumrahnya berujud gejolak di bidang sosial budaya, misalnya, atau gonjang-ganjing ekonomi, gejolak politik dan sebagainya.
Akan tetapi, tatkala gejolak awal pun tidak mampu mengembalikan alam ke titik keseimbangan, maka justru alam yang akan bereaksi.
“Inilah tahap lanjutan jika gejolak awal (sosial budaya dan lain-lain) tidak direspon secara bijak oleh organisme dan lingkungan sekitar”.
Dan agaknya inilah jawaban prematur, mengapa terjadi beberapa bencana alam (banjir, longsor dan lain-lain) serta ada empat gunung —pilar bumi— meletus secara bergiliran.
Bacalah tanda-tanda alam bagi orang yang berpikir!
(08/12/2020)
(Dw.A/Red)