Sidang Gugatan Kewenangan Aceh, Tiga Saksi Ungkap Kerugian Akibat Kebijakan DPR RI

Sidang Gugatan Kewenangan Aceh terhadap Ketua DPR RI Puan Maharani memasuki tahap pemeriksaan saksi. Kuasa Hukum Ugek Farlian, Safaruddin. Hadir sebagai saksi di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta, Ketua Komite I DPD RI, Fachrur Razi, Anggota DPRA, Azhar Abdurrahman dan juga Ketua DPRK Simeulue, Irwan Suhaimi, Jum'at (9/8/2024).

JAKARTA, detikkota.com – Sidang gugatan terkait kewenangan Aceh terhadap Ketua DPR RI, Puan Maharani, memasuki tahap pemeriksaan saksi di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta. Dalam sidang tersebut, Ketua Komite I DPD RI, Fachrur Razi, Anggota DPRA, Azhar Abdurrahman, dan Ketua DPRK Simeulue, Irwan Suhaimi, hadir sebagai saksi.

Kuasa hukum penggugat, Ugek Farlian, yang diwakili oleh Safaruddin, menyampaikan bahwa para saksi akan memberikan keterangan mengenai kerugian yang dialami Aceh akibat tidak dilaksanakannya ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA). Ketentuan ini mengharuskan adanya konsultasi dan pertimbangan dari DPRA terhadap DPR RI dalam pembahasan undang-undang yang berkaitan dengan kewenangan khusus Aceh.

“Ketiga saksi yang hadir akan menjelaskan secara rinci terkait kerugian yang timbul akibat tidak dilaksanakannya perintah UUPA oleh DPR RI, yaitu tidak melakukan konsultasi dan pertimbangan DPRA ketika membahas UU yang berkaitan dengan kewenangan khusus Aceh,” ujar Safar di PN Jakarta, Jumat (9/8/2024).

Fachrur Razi mengungkapkan bahwa dirinya dan beberapa anggota DPD asal Aceh telah berupaya mengingatkan pimpinan DPR RI untuk mengakomodir kekhususan Aceh sesuai dengan Pasal 8 UUPA dalam pembahasan revisi UU MD3. Namun, hingga kini, DPR RI belum merespon surat yang dikirim oleh para senator Aceh.

“Kami sering mendapat komplain dari DPRA dan Pemerintah Aceh terkait beberapa UU yang dibahas dan disahkan oleh DPR RI yang bertentangan dengan kewenangan khusus Aceh. Kami sudah menyurati Ketua DPR RI agar memperhatikan kewenangan Aceh seperti yang diatur dalam Pasal 8 UUPA, namun surat kami tidak mendapatkan respon,” kata Fachrur Razi.

Azhar Abdurrahman, yang mewakili pimpinan DPRA, juga menjelaskan bahwa banyak UU yang disahkan DPR RI bertentangan dengan UUPA, seperti masa jabatan kepala desa yang diatur dalam Pasal 159 UUPA. DPRA telah menyurati Ketua DPR RI agar memperhatikan kewenangan Aceh sesuai Pasal 8 UUPA, namun belum ada tanggapan.

“DPRA sudah menyampaikan kepada Ketua DPR pada tahun 2020 agar DPR melakukan konsultasi dan mendapatkan pertimbangan dari DPRA saat membahas UU yang berkaitan dengan kewenangan khusus Aceh. Namun, hingga kini, hal tersebut tidak pernah dilakukan,” jelas Azhar.

Azhar juga mengingatkan bahwa DPRA pernah mengajukan judicial review terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK). MK kemudian mengabulkan permohonan tersebut dengan alasan bahwa DPR RI tidak melaksanakan perintah Pasal 8 UUPA.

Ketua DPRK Simeulue, Irwan Suhaimi, menambahkan bahwa Pemerintah Kabupaten Simeulue sangat dirugikan oleh penarikan kewenangan pengelolaan pelabuhan dari kabupaten ke provinsi berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Penarikan kewenangan ini menyebabkan hilangnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Simeulue.

“Kami sangat dirugikan dengan penarikan kewenangan pengelolaan pelabuhan dari kabupaten ke provinsi, yang menghilangkan pendapatan daerah Simeulue. Kami juga kesulitan menganggarkan dana pembangunan sekolah menengah atas dan kejuruan di Simeulue karena pembatasan yang diatur dalam UU 23/2014,” terang Irwan.

Sidang ini menjadi momen penting dalam upaya Aceh untuk mempertahankan kewenangan khusus yang telah diatur dalam UUPA, dengan para saksi memberikan keterangan yang menguatkan tuntutan mereka di hadapan pengadilan.