YARA Dukung DPR ACEH Tiadakan Paripurna Untuk Bustami

Yuni Eko Hariatna (Kepala Perwakilan YARA Kota Banda Aceh)

BANDA ACEH, detikkita.com – Kepala Perwakilan YARA Kota Banda Aceh, Yuni Eko Hariatna atau akrab di sapa Haji Embong, mendukung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) tidak melaksanakan rapat paripurna Penandatangan komitmen Pasangan Calon Gubernur/Wakil Gubernur menjalankan MoU Helsinki dan Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) dihadapan anggota DPRA yang itu merupakan kewenangan DPRA.

Dukungan ini disampaikan langsung oleh Haji Embong, Karena menurutnya, Bustami selama menjalankan tugasnya sebagai Sekda maupun Pj Gubernur Aceh, tidak terbukti telah memperjuangkan UUPA dan MoU Helsinki.

Pada saat menjabat sebagai Pj Gubernur, banyak hal yang bisa dilakukan oleh Bustami untuk memperjuangkan Implementasi UUPA dan MoU Helsinki. Namun, tidak ada yang dilakukan oleh Bustami terhadap kedua hal tersebut.

“Kami mendukung langkah DPRA yang tidak melaksanakan paripurna penandatangan komitmen menjalankan UUPA dan MoU Helsinki kepada Bustami. Karena dalam pandangan kami, saat dia menjabat Pj Gubernur, Bustami, tidak menunjukkan kerja dan kebijakan untuk memperjuangkan UUPA dan MoU Helsinki.

Pada saat menjabat sebagai Pj Gubernur, sudah terbukti tidak komit untuk menjalankan UUPA dan MoU Helsinki. Jadi, untuk apa lagi diberikan kesempatan berkomitmen kedepannya.”kata Haji Embong di Banda Aceh, Minggu (22/9/24).

Salah satu keyakinan YARA bahwa Bustami tidak akan menjalankan UUPA dan MoU Helsinki adalah ketika Bustami tidak bersedia menandatangani pengalihan Blok Migas di Rantau Kuala Simpang dan Rantau Peurlak dari SKK Migas ke Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA).

Blok Migas tersebut, telah diperjuangkan oleh Anggota DPRA, Asrizal Asnawi dan YARA sampai mengugat ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Dan ketika Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menyetujui pengalihan Blok Migas di Aceh dari Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) ke BPMA malah Bustami tidak bersedia menandatangani rekomendasi pemerintah bersedia menerima pengelolaan Blok Migas tersebut sesuai dengan term and condition yang telah disusun oleh SKK Migas, BPMA dan Pertamina sesuai dengan surat dari Menteri ESDM.

Untuk mendesak terkait hal tersebut, YARA harus mengugat Pj Gubernur Bustami ke

Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Jakarta Pusat agar segera ditandatanganinya rekomendasi tersebut.

Tindakan Bustami saat itu, menunjukkan ketidak berpihakannya terhadap MoU Helsinki dan UUPA yang dalam UUPA Pasal 160 Undang-Undang tersebut disebutkan, bahwa pengelolaan sumber daya alam Minyak dan Gas Bumi yang berada di darat dan laut di Wilayah Aceh akan dikelola secara bersama antara Pemerintah dengan Pemerintah Aceh dengan membentuk suatu BPMA yang ditetapkan bersama.

“Dugaan keyakinan kami bahwa Bustami tidak akan melaksanakan MoU Helsinki dan UUPA kami dapatkan dalam hal Bustami menolak menandatangani rekomendasi pengalihan Blok Migas di Rantau Kuala Simpang dan Rantau Pereulak yang dikelola oleh Pertamina dengan SKK Migas ke BPMA.

Padahal, lanjut Embong, pengelolaan seluruh blok migas di dasar dan 12 mil Laut merupakan semangat MoU Helsinki dan UUPA. Ini menunjukkan bahwa Bustami tidak mendukung pelaksanaan MoU dan UUPA.” terang Haji Embong.

Selain itu, kata Embong, YARA juga tidak melihat tindakan serius Bustami saat menjabat Pj Gubernur untuk melaksanakan beberapa butir MoU Helsinki yang mendesak diimplementasikan saat ini, seperti butir 1.3.5 MoU Helsinki, yang berbunyi “Aceh melaksanakan pembangunan dan pengelolaan semua pelabuhan laut dan pelabuhan udara dalam wilayah Aceh.”

Kemudian, lanjut Embong, upaya membentuk Pengadilan HAM sebagaimana telah di sepakati dalam butir 2.2.2 “Sebuah Pengadilan HAM akan di bentuk di Aceh”, butir 3.2.4 MoU Helsinki.

“Pemerintah RI akan mengalokasikan dana bagi rehabilitasi harta benda public dan perorangan yang hancur atau rusak akibat konflik untuk dikelola oleh Pemerintah Aceh”, dan butir 3.2.6. yang menyatakan Pemerintah Aceh dan Pemerintah RI akan membentuk Komisi Bersama Penyelesaian Klaim untuk menangani klaim-klaim yang tidak terselesaikan.

Hal ini, sampai saat ini, masih sangat banyak harta benda masyarakat Aceh yang musnah akibat konflik dan menyebabkan kemiskinan saat itu belum di ganti kerugiannya oleh Pemerintah.

“Kami juga memantau kinerja Bustami saat menjadi Pj Gubernur yang seharusnya saat menjabat sudah mulai melakukan kinerja penguatan implementasi MoU dan UUPA. Namun, kami tidak melihat kerja dan kebijakan yang mengarah pada penguatan implementasi UUPA dan MoU seperti mendorong pembentukan pengadilan HAM, membentuk Komisi Bersama Penyelesaian Klaim, dan juga melakukan pengelolaan pelabuhan laut dan udara oleh Pemerintah Aceh.” tutup Embong.