Penahanan Yunus Wahyudi, Pesanan Atau Murni Penegakan Hukum?

Banner

BANYUWANGI, detikkota.com – Beberapa waktu yang lalu, tiga hari berturut-turut salah satu media di Banyuwangi menyajikan berita mengenai ditahannya Yunus Wahyudi, seorang aktivis kontraversial dari Purwoharjo di Polresta Banyuwangi karena dugaan menyiarkan berita bohong.

Yunus Wahyudi menyampaikan bahwa Covid-19 di Banyuwangi tidak ada. Statement tersebut akhirnya dijadikan dasar oleh seseorang yang katanya adalah seorang relawan Covid-19 untuk melaporkan Yunus Wahyudi di Polresta Banyuwangi dan kemudian menghantarkan Yunus menjadi tersangka dan saat ini ditahan di Polresta Banyuwangi (Polsek Giri).

Banner

Sebelumnya ada banyak cerita yang beredar mengenai penyebab ditahannya Yunus, mulai dari seruannya yang menolak memakai masker hingga penjemputan paksa jenazah di RSUD Genteng. Namun kemudian semua diclearkan oleh pihak kepolisian.

Menurut Kombes Pol. Arman Asmara Syarifuddin, Kapolresta Banyuwangi, Yunus dijerat dengan Pasal 14 ayat 1 dan 2 Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana dan Pasal 45 huruf a Jo Pasal 28 UU Nomor 19 Tahun 2016 ITE dan Pasal 93 UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Berdasarkan informasi dan data yang penulis peroleh mengenai perkara ini yang kemudian penulis analisa, ternyata ada banyak kejanggalan yang muncul dalam proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Polresta Banyuwangi dalam menangani kasus Yunus.

Kejanggalan pertama yang penulis lihat adalah kasus Yunus diawali dari laporan seseorang relawan Covid-19 ke Polresta Banyuwangi pada tanggal 2 Oktober 2020 yang langsung diterima. Kejanggalan kedua adalah mengenai pemanggilan Yunus oleh penyidik agar segera menghadap penyidik guna segera diperiksa, dan kejanggalan ketiga adalah surat pemanggilan penyidik kepada Yunus.

Ketiga kejanggalan tersebut, jika penulis runut dan analisa, maka akan muncul keanehan dalam proses jeratan pidana yang ditujukan kepada Yunus Wahyudi. Keanehan pertama adalah mengenai sosok pelapor yang membuat laporan. Pelapor yang katanya adalah seorang relawan Covid-19 ini menurut penulis adalah “orang hebat”.

Bagaimana tidak hebat, laporannya di Polresta Banyuwangi yang dilakukan pada tanggal 2 Oktober 2020 dengan Nomor : LP.B/338/X/Res.1.24/2020/Reskrim/SPKT Polresta Banyuwangi, langsung ditindaklanjuti oleh Polresta Banyuwangi dan pada hari itu juga terbit Surat Perintah Sidik SPRIN-SIDIK/329/X/2020/Satreskrim, Tanggal 2 Oktober 2020.

Jika biasanya sebuah laporan tindak pidana diawali dengan proses penyelidikan terlebih dahulu, maka dalam laporan relawan Covid-19 ini tidak melalui proses penyelidikan. Menurut Pasal 1 angka 5 KUHAP, “Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.

Dengan tidak dilaluinya proses penyelidikan, ada dugaan target mempidanakan Yunus Wahyudi memang sudah di desain sejak awal. Tanpa adanya proses lidik kemudian langsung naik ke proses sidik, artinya bahwa materi-materi untuk menjerat Yunus memang sudah dipersiapkan sejak awal seperti menghubungi saksi ahli dari instansi Kesehatan, hingga saksi ahli Bahasa. Semuanya serba kilat. Selanjutnya, ketika “gong” telah dibunyikan maka proses “formalitasnya” yang kemudian dijalankan. Sekali lagi ini adalah dugaan penulis.

Kejanggalan berikutnya adalah mengenai surat panggilan. Menurut surat panggilan tersebut, Yunus akan diperiksa sebagai saksi terkait dugaan tindak pidana pasal 14 ayat 1 dan 2 UU RI Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan atau Pasal 93 UU RI No. 6 Tahun 2013 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Penerapan pasal 14 ayat 1 dan 2 UU RI Nomor 1 Tahun 1946 pada kasus Yunus mengingatkan penulis akan kasus Ratna Sarumpaet yang juga dijerat dengan pasal tersebut. Penerapan pasal tersebut sempat menjadi pro kontra dan perdebatan dikalangan akademisi.

Bahkan seorang Profesor sekaliber Andi Hamzah yang juga seorang Pakar Hukum Pidana sempat berpendapat bahwasanya pengenaan pasal tersebut cacat sebagaimana yang pernah ditayangkan dalam acara Indonesia Lawyer Club tanggal 9 Oktober 2018. Pengenaan pasal berikutnya adalah pasal 93 UU RI Nomor 6 tahun 2013 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Sebenarnya penulis mau tertawa tapi takut dosa karena Penyidik telah keliru mempergunakan UU ini.

Untuk diketahui bahwasanya UU Nomor 6 tahun 2013 adalah UU tentang Pembentukan Kabupaten Pulau Taliabu di Provinsi Maluku Utara dan bukan UU tentang Kekarantinaan Kesehatan. Bagaimana ini bisa terjadi ? penyidik yang terlibat dalam perkara ini jumlahnya cukup banyak dan celakanya semuanya tidak tahu dan tidak sadar bahwa UU yang mereka pergunakan adalah UU yang salah.

Jika nantinya mereka berdalih bahwa itu hanyalah kekeliruan pengetikan semata itu bukanlah alasan pembenar karena kesalahan 1 huruf atau angka akan mempunyai makna yang berbeda dan itu tidak dapat ditoleransi !!!

Ketika hari Yunus diperiksa dan kemudian ditahan, status hukum dalam panggilannya adalah sebagai saksi. Bagaimana bisa, seseorang dipanggil sebagai saksi kemudian menjadi tersangka dan langsung ditahan ? Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saja yang memeriksa perkara tindak pidana korupsi yang merupakan sebuah kejahatan luar biasa saja tidak pernah menahan seseorang yang ketika dipanggil kapasitasnya adalah sebagai saksi.

Walaupun dari hasil pemeriksaan saksi tersebut sudah bisa ditetapkan sebagai tersangka, mereka tidak langsung melakukan penahanan, namun mereka melakukan pemanggilan berikutnya dihari yang lain dengan kapasitasnya sebagai tersangka baru kemudian ditahan.

Perkara Yunus hanyalah perkara “kaleng-kaleng” dan tidak seharusnya ditersangkakan pada saat hari pemeriksaan sebagai saksi yang kemudian langsung ditahan. Sebagaimana yang penulis sampaikan diatas, bahwasanya ada dugaan jika penahanan Yunus Wahyudi sudah dipersiapkan sebelumnya (by design).

Menurut hemat penulis, pemanggilan yang berujung penahanan Yunus Wahyudi adalah sebuah panggilan yang cacat hukum karena panggilan tersebut telah dengan jelas mempergunakan UU yang salah. Bukan hanya surat panggilannya yang cacat hukum melainkan surat penangkapan dan penahanannya juga karena salah menyebutkan UU.

Kejanggalan lainnya adalah dimasukannya Pasal 45 huruf a Jo Pasal 28 UU Nomor 19 Tahun 2016 ITE dalam Surat Penangkapan dan Penahanan Yunus Wahyudi.

Mengapa dengan tiba-tiba pasal itu masuk dan menjadi pelapis dari pasal 14 ayat 1 dan 2 UU RI Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan atau Pasal 93 UU RI No. 6 Tahun 2013 tentang Kekarantinaan Kesehatan (UU salah), padahal dalam panggilan kepada Yunus tidak tercantum norma tersebut.

Agar hal ini menjadi terang benderang, harusnya penyidik dapat menyampaikan landasan yuridis kepada khalayak agar nantinya tidak di cap sebagai Lembaga penegak hukum yang tidak professional.

Sebagaimana diketahui bahwa, penggunaan pasal berlapis adalah cara aman untuk menjerat seseorang dari jeratan hukum. Jika pasal yang satu tidak terpenuhi unsurnya, maka dipakailah pasal yang lain untuk menjeratnya dan begitu seterusnya. Ini menandakan bahwasanya penyidik tidak terlalu percaya diri dalam menjerat aktivis kontraversial ini.

Terlepas dari track record Yunus Wahyudi yang belum penulis tahu seluruhnya, namun apa yang selama ini penulis amati adalah Yunus Wahyudi merupakan seorang aktivis yang vocal, vocal kepada instansi-instansi pemerintah bahkan kepada lembaga kepolisian sendiri.

Banyak statement dari yang bersangkutan yang mengkritik kinerja Lembaga Kepolisian yang sarat dengan Korupsi dan Kolusi yang pada akhirnya merugikan rakyat kecil pencari keadilan. Semoga saja ini bukanlah aksi sakit hati dan balas dendam pihak kepolisian terhadap Yunus Wahyudi melainkan memang benar-benar professional dalam melakukan penegakan hukum di bumi Blambangan.

ditulis oleh Agung Prastianto, S.H., M.H.
Advokat dan Konsultan Hukum

title="banner"