SUMENEP, detikkota.com — Keberadaan industri minyak dan gas bumi (migas) di Kabupaten Sumenep, Madura, belum memberikan dampak signifikan terhadap penurunan angka kemiskinan masyarakat. Di tengah beroperasinya delapan perusahaan migas asing di perairan sekitar Sumenep, wilayah tersebut justru masih tercatat sebagai daerah dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Jawa Timur.
Pemuda Kepulauan Sapeken, Faisal Islami, menilai kondisi tersebut terjadi karena keterbatasan kewenangan pemerintah kabupaten dalam pengelolaan sektor migas. Secara administratif, Sumenep tidak dikategorikan sebagai daerah penghasil migas, sehingga tidak memiliki ruang strategis untuk mengelola dan mengoptimalkan manfaat ekonomi dari aktivitas eksploitasi energi di wilayahnya.
“Makanya perusahaan migas tidak bisa menurunkan angka kemiskinan di Sumenep, karena secara administratif wilayah kerja mereka tidak masuk dalam yurisdiksi kabupaten,” ujar Faisal, Senin (16/12/2025).
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Saat ini, sejumlah perusahaan migas asing tercatat aktif beroperasi di perairan Sumenep, di antaranya Kangean Energy Indonesia (KEI), Santos Madura Offshore, Husky-CNOOC Madura Limited (HCML), Energi Mineral Langgeng (EML), Petrojava North Kangean (PNK), Techwin Energi Madura Ltd, Petronas, dan Husky Anugerah Limited. Namun, keberadaan perusahaan tersebut dinilai belum memberikan efek pengganda ekonomi yang nyata bagi masyarakat lokal.
Faisal menjelaskan, perubahan regulasi melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah turut mempersempit peran pemerintah kabupaten. Dalam regulasi tersebut, kewenangan pengelolaan migas hingga radius 12 mil laut dialihkan ke pemerintah provinsi.
“Pemerintah kabupaten hanya menerima dampak turunan, sementara kewenangan utama ada di provinsi. Ini membuat daerah kesulitan mengintervensi langsung sektor strategis migas,” jelasnya.
Kondisi tersebut diperparah dengan keterbatasan kelembagaan daerah. Hingga saat ini, Pemerintah Kabupaten Sumenep belum memiliki dinas khusus yang menangani sektor kelautan dan energi. “Di Pemkab Sumenep tidak ada dinas kelautan, yang ada hanya dinas perikanan,” ungkap Faisal.
Ia juga menilai bahwa penurunan angka kemiskinan sebesar 2,4 persen di Sumenep tidak dapat dikaitkan langsung dengan aktivitas migas. Menurutnya, capaian tersebut lebih disebabkan oleh program pemerintah daerah yang didukung anggaran besar, bukan dari kontribusi dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) migas.
“Ironisnya, justru kecamatan yang berdekatan dengan wilayah operasi migas menjadi kantong kemiskinan,” katanya.
Meski data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat adanya penurunan kemiskinan, Kabupaten Sumenep hingga kini masih berada di posisi teratas daerah termiskin di Jawa Timur. Kondisi ini menegaskan adanya ketimpangan antara besarnya nilai ekonomi sumber daya alam yang dieksploitasi dan minimnya manfaat yang kembali kepada masyarakat daerah.
Penulis : Red
Editor : Red







