Sungkono, Pahlawan Perang 10 November di Surabaya

Rabu, 11 November 2020

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Kolonel Sungkono

Kolonel Sungkono

detikkota.com – Markas Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Jalan Pregolan 4, Surabaya, 9 November 1945, mendadak penuh sesak.

Sejumlah orang berkerumun memasang wajah teramat serius. Mereka tengah menanti keputusan akan apa yang harus dilakukan esok hari.

Kala itu, berdiri Kolonel Sungkono di tengah massa yang sedang menanti.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pria berusia 31 tahun itu baru saja diangkat sebagai Komandan Pertahanan Kota Surabaya.

Jabatan barunya itu sekaligus menjadi jawaban, bahwa warga Surabaya tak akan menyerahkan senjata kepada pasukan Inggris.

Dengan kata lain, akan ada pertempuran besar pada 10 November.

“Saudara-saudara, saya ingin mempertahankan Kota Surabaya…Surabaya tidak bisa kita lepaskan dari bahaya ini,” ujar Sungkono dalam pidato singkatnya seperti dikutip dari Surabaya 1945: Sakral Tanahku.

“Kalau saudara-saudara mau meninggalkan kota, saya juga tidak menahan; tapi saya akan mempertahankan kota sendiri,” imbuhnya.

Pidato singkat Sungkono itu kemudian disambut dengan deklarasi kebulatan tekad. Deklarasi itu berupa sumpah pejuang Surabaya yang menggunakan semboyan

‘Merdeka atau Mati’. Sumpah tersebut kemudian ditandatangani para komandan, termasuk Sungkono.

Para pejuang yang hadir pada malam itu jelas gembira atas keputusan tersebut. Mereka yang rata-rata masih berusia sekitar 15-22 tahun memasang wajah penuh tekad. Semua siap mempertahankan Surabaya di bawah komando Sungkono.

Tugas Sungkono terbilang berat. Ia harus memastikan keamanan seisi kota.

Terlebih ia tahu, ultimatum yang disampaikan Mayor Jenderal Mansergh tidaklah main-main. Akan ada puluhan ribu bala tentara Inggris yang siap menggempur kotanya.

Bila dibandingkan dengan pasukan Inggris, Sungkono jelas tak memiliki apa-apa. Ia tak memiliki kapal perang, tank sherman, pesawat thunderbolt dan mosquito, bahkan tak memiliki amunisi yang mumpuni.

Sungkono dan anak buahnya hanya punya senapan mesin ringan, granat, bambu runcing, dan beberapa tank yang sudah tua.

Maka, sehabis pertemuan di Jalan Pregolan 4 itu ia benar-benar tak bisa tidur. Semalaman ia menyusun siasat menunggu pukul 06.00 pagi.

Sudah 50 jam kolonel kelahiran Purbalingga itu terus terjaga untuk menghadapi pasukan Inggris.

Meski tidak tidur, Sungkono tampak tetap terlihat tenang. Sikap itu disaksikan oleh Wakil Komandan TPKR Suhario.

“Seperti biasanya malam itu Sungkono tetap bersikap tenang selama melakukan inspeksi persiapan pertahanan. Dia datang ke markas saya di tengah malam, bersama dengan Kretarto dan tiga perwira. Dia bertanya, ‘Apakah kamu siap?’,” terang Suhario dalam Memoar Hario Kecik.

Sikap tenang Sungkono itu baru mulai berubah saat pasukan Inggris menyerang. Inggris membombardir Surabaya melalui jalur darat, laut, dan udara. Serangan bertubi-tubi itu lantas membuat Surabaya tumbang. Sungkono lalu tercatat telah mempertahankan Surabaya selama 21 hari.

Bila dibandingkan dengan nama Bung Tomo, sosok Sungkono barangkali asing di telinga publik. Mesin pencarian Google bahkan gagal menjumpai sosok kolonel berjasa tersebut di halaman utama.

menurut sejarawan Australia Frank Palmos, Sungkono memiliki porsi yang besar lantaran mengorganisir tentara dalam pertempuran tersebut.

“Benar adanya bahwa pidato-pidato malam berapi-api yang dibawakan Bung Tomo menggugah semangat para pejuang, sekaligus menjengkelkan bagi Inggris, tapi beliau hanya berpidato bukan mengatur tentara di medan laga,” tulis Palmos dalam komentarnya di Surabaya 1945: Sakral Tanahku.

Persediaan senjata yang dimiliki Arek Suroboyo dalam menghadapi Inggris pun tak lepas dari campur tangan Sungkono.

Sejak September 1945, ia memimpin perjuangan rakyat Surabaya untuk melucuti senjata milik Jepang di Gubeng.

Selama bertempur itu pula, Sungkono memiliki kebiasaan unik. Menurut keterangan putri pertama Sungkono, Andijani Sungkono, ayahnya kerap menggunakan baju hasil jaitan sendiri.

Kesaksian tersebut ada dalam Jurnal Unesa: Peran Mayjen Sungkono Dalam Mempertahankan Kemerdekaan Di Jawa Timur Tahun 1945 – 1950.

Kini, nama Sungkono benar-benar hilang dari kesadaran publik.

Meski demikian, namanya terpatri sebagai Jalan Mayjen Sungkono.

Jalan itu yang menjadi pembuka bagi siapa pun yang ingin berkunjung ke Taman Makam Pahlawan 10 November. (Dw.A/Red)

Berita Terkait

Wali Kota Eri Cahyadi Sambut Delegasi 17 Negara dalam Peringatan 70 Tahun KAA di Surabaya
PB ISSI Beri Penghargaan untuk Banyuwangi, Apresiasi Konsistensi Kembangkan Sport Tourism
BMKG Imbau Warga Jatim Waspadai Cuaca Ekstrem, Lumajang Masuk Daerah Rawan
DLH Surabaya Selidiki Fenomena Ikan Mabuk di Banyu Urip dan Kalimas, Diduga Akibat Penurunan Kadar Oksigen
Siswa SDN Tamberu 2 Belajar di Tenda Dekat TPA, DPRD Pamekasan Desak Solusi Cepat
Dari Kain ke Peradaban: Batik Tulis Canteng Koneng Hidupkan Nilai Sumpah Pemuda
Balmon Surabaya Gelar UNAR 2025 di Pamekasan, 60 Peserta Ikuti Ujian Amatir Radio
Presiden Prabowo Jamuan Santap Malam Kenegaraan untuk Presiden Brasil Lula da Silva di Istana Merdeka

Berita Terkait

Jumat, 31 Oktober 2025 - 10:22 WIB

Wali Kota Eri Cahyadi Sambut Delegasi 17 Negara dalam Peringatan 70 Tahun KAA di Surabaya

Kamis, 30 Oktober 2025 - 13:37 WIB

BMKG Imbau Warga Jatim Waspadai Cuaca Ekstrem, Lumajang Masuk Daerah Rawan

Kamis, 30 Oktober 2025 - 11:42 WIB

DLH Surabaya Selidiki Fenomena Ikan Mabuk di Banyu Urip dan Kalimas, Diduga Akibat Penurunan Kadar Oksigen

Rabu, 29 Oktober 2025 - 10:55 WIB

Siswa SDN Tamberu 2 Belajar di Tenda Dekat TPA, DPRD Pamekasan Desak Solusi Cepat

Selasa, 28 Oktober 2025 - 12:58 WIB

Dari Kain ke Peradaban: Batik Tulis Canteng Koneng Hidupkan Nilai Sumpah Pemuda

Berita Terbaru